Toolbar Pencarian

Minggu, 07 April 2019

Fenomena Santri "Baru Gede"

Ada yang bilang, masa remaja adalah saat dimana ’suhu badan memanas’. Entahlah, apa maksud sebenarnya. Yang jelas, ketika masa remaja datang, bawaannya terlihat ingin selalu mencoba hal baru. Bahkan terkadang harus berontak. Bukan hanya pada guru dan teman, keluargapun jadi sasaran pemberontakan. Ketika pikiran sedang ’on’, terkadang terbersit penyesalan. Seakan tidak mengerti kenapa hal-hal sepele bisa menjadi masalah yang cukup pelik dalam keluarga. Para remaja cenderung tidak terima kalau mereka dilarang begini dan diperintah begitu.
Rasanya, masa remaja adalah saat dimana seseorang ingin semua berjalan sekehendak hatinya tanpa campur tangan orang lain, termasuk orang tua. Dan yang tidak habis pikir, ternyata hal tersebut berlaku juga bagi ’remaja khusus’, para santri.

Mulai dewasa adalah arti yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk kata remaja. Memandang arti tersebut, kiranya dapat kita simpulkan bahwa istilah remaja bukan berasal dari tuntunan Islam. Karena kenyataannya, dalam Islam, ketika seseorang sudah mimpi basah atau keluar darah haid, dia dikatakan sebagai baligh. Baligh adalah derivasi dari kata balagha yang mempunyai arti sampai. Kemudian kata baligh digunakan istilah untuk orang yang telah sampai pada masa kedewasaan (dengan ditandai ciri-ciri di atas). Pada masa ini, ia dianggap sudah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sehingga ketika mereka melanggar kewajiban, ada sanksi yang harus mereka terima. Bahkan seperti kita ketahui, ada anjuran memukul anak usia 10 tahun ketika mereka tidak mengerjakan salat.

Lalu kenapa penulis menyebut mereka dengan remaja khusus? Disamping memudahkan pembaca dalam memahami –karena memang kata remaja terlanjur sering keluar masuk telinga, juga karena beberapa alasan. Pertama, meskipun banyak pendapat tentang asal dan arti kata santri, yang jelas semua mengerucut pada pengertian bahwa kata santri ditujukan untuk menyebut orang baik. Sehingga wajar saja bila dalam KBBI diartikan bahwa santri adalah mereka yang mendalami agama Islam. Dan lebih spesifik lagi, mereka adalah orang yang mendekatkan diri pada Tuhan dengan sungguh-sungguh atau orang-orang saleh. 

Kedua, berangkat dari alasan pertama, mereka tumbuh menjadi remaja dengan keseharian yang tentunya berbeda. Meski tidak semua, dalam bermasyarakat (ketika waktu libur tiba) mereka cenderung banyak bergaul dan menghabiskan waktunya dengan keluarga. Keseharian seperti itu tentunya sangat jauh berbeda dengan remaja lainnya. Meski juga tidak semuanya, rata-rata remaja usia sekolah lebih banyak diluar rumah saat musim libur tiba. 

Meskipun demikian, seperti remaja lainnya, ketika penulis mencoba menggali sumber dari beberapa santri lintas pesantren (baca;berbagai pondok pesantren), ditemukan hal yang sama. Masa remaja akang-akang dan mbak-mbak santri tidak lepas dari ’kepanasan’. Ketika hawa panas itu mengarah masuk ke dalam (baca;masalah dengan keluarga), penulis kira masih wajar. Tapi permasalahannya bukan hanya itu. Kang santri pun ternyata panas ke luar. Dalam artian, tidak bisa lepas dari yang namanya kebiasaan remaja lainnya, mulai penampilan sampai hubungan asmara. Dengan kedua alasan tersebut, kiranya pantas jika penulis menyebut mereka dengan remaja khusus.

Keranjingan Mode
Dewasa ini, penampilan seakan menjadi modal utama ketika sesuatu disuguhkan. Terbukti, banyak kasus penipuan terungkap gara-gara si korban terkecoh dengan penampilan. Adalah wajar jika seseorang ingin tampil elegan. Namun jika hal itu kemudian menjurus pada hal-hal negatif, tentunya sebagai makhluk yang diciptakan memiliki ’naluri positif’, akan menolak hal tersebut.

Islam sebagai agama samawi –meminjam istilahnya Tahir Azhari:1992– yang memiliki substansi totalitas yang komprehensif, juga memberikan tuntunan dalam masalah penampilan. Beberapa firman Allah yang memberikan gambaran tentang penampilan antaranya adalah QS. Al-Muddatstsir: 4, ”… dan pakaianmu bersihkanlah.” Atau juga ayat, ”Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raaf: 26)

Selain itu, banyak juga ditemukan sabda Rasul yang menerangkan tentang tata cara berpenampilan yang baik. Mulai dari anjuran memakai sepasang alas kaki, memotong kuku, menjaga bau mulut (baca;bersiwak), memakai wewangian, memilih warna putih untuk pakaian, sampai anjuran untuk berpakaian putih ketika salat. Menurut hemat penulis, dari banyaknya tuntunan Nabi tersebut, dapat disimpulkan betapa Islam mengajarkan kebersihan dan kerapian. 

Permasalahannya kemudian, sekarang pakaian bukan sekedar penutup aurat. Ia telah beralih fungsi menjadi sebuah identitas sosial dan lebih mengarah pada ’penilaian plus’ saat dipandang. Dengan berpakaian baik, seseorang ingin tampil memukau ketika dia bertemu dengan orang lain. Dan seperti penulis utarakan di muka, santri baru gede (SBG) pun demikian. Banyak dari mereka yang tanpa sadar terbawa arus perkembangan mode. Bahkan, banyak ditemukan santriwati berjilbab jauh dari tatacara memakai jilbab yang benar.

Sebagai remaja khusus, semestinya SBG lebih cerdas ketika mengenakan busana. Namun karena kepanasan keluar seperti yang telah penulis kemukakan di muka, mereka seolah tidak mau tahu dengan hal tersebut. 

Terkait QS. Al-A’raaf: 26, al-Showi berkomentar, ”Yang dimaksud dengan pakaian indah untuk perhiasan adalah segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan tuntunan syariat. Dalam artian, ketika mengenakan pakaian tersebut tidak terdapat unsur negatif dan kesombongan. Seperti halnya memakai pakaian jelek. Ketika hal itu dilakukan dengan adanya unsur negatif –seperti ingin dikatakan fakir, sehingga ia mendapat jatah sedekah, maka hal tersebutpun termasuk perbuatan tercela.” Secara tidak langsung, komentar ini senada dengan sabda Nabi yang mengatakan bahwa Allah tidak ’memandang’ penampilan dan harta seseorang. Tapi Allah memandang seorang hamba dari hati dan amalnya.

Antara Pacar dan Keluarga
Dalam hubungan asmarapun, ternyata kang-kang santri banyak yang seperti remaja seusianya. Sedikit sekali santri yang benar-benar tidak memiliki pasangan. Dan meskipun toh ada yang bersikukuh bahwa hubungan asmaranya beda dengan remaja lainnya, menurut hemat penulis, pacaran tetaplah pacaran. Yang pada intinya tentu kita tahu, tidak ada yang namanya pacaran yang islami.

Dulu, –bukan maksud penulis menyalahkan perempuan– ada kesan perempuan seperti takut ’kehabisan stok’. Karena memang populasi penduduk menunjukkan perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki. Namun sekarang, jika ramai-ramai mencari pasangan beralasan hal tersebut, rasanya tidak masuk akal. Karena dari sensus penduduk tahun 2010 kemarin, diketahui bahwa jumlah laki-laki di Indonesia sebanyak 119.507.580 jiwa, sedang perempuannya 118.048.783 orang. Nah, jika kenyataannya demikian, terus faktor apakah yang mendorong remaja ’gregetan’ kalau tidak punya pacar?

Beragam alasan seseorang memiliki pacar. Ada yang meyakini agar semangat dalam belajar, ada yang ingin menghilangkan kejenuhan, ada yang sekedar iseng dan ada pula yang katanya untuk mengetahui pribadi pasangan yang dicintainya. Namun seperti penulis singgung di muka, ketika pikiran sedang ’on’, nurani membenarkan bahwa sebenarnya alasan itu hanya sebuah pembenaran demi sebuah nafsu, kalau tidak dikatakan sebagai seks bebas.

Terlalu berlebihan memang, jika pacaran remaja khusus dikaitkan dengan seks bebas. Tapi setidaknya, pacaran bagaimanapun jenisnya, akan mengarah pada satu hal, khalwat. Sebagaimana pemahaman masyarakat pada umumnya.

Jika sesuatu yang berkonotasi negatif sudah dicandui remaja khusus, disadari ataupun tidak, hal tersebut akan ’mereduksi’ nilai pesantren sebagai induk mereka. Karena seperti yang kita ketahui, saat ini, santri sudah terlanjur ’dinobatkan’ sebagai orang yang suci. Sulit memang. Tapi tidak ada salahnya kita berupaya menjalankan tuntunan Nabi, bahwa besok haruslah lebih baik dari hari ini.

Solusi untuk mendinginkan kedua hawa ’panas keluar’ tersebut, kiranya hanya dapat dilakukan oleh dukungan keluarga. Coba saja, ketika dalam sebuah keluarga terjadi Komunikasi yang tidak pasif. kita yakin, hal-hal negatif di atas bisa dibendung. Karena dengan suasana keluarga yang harmonis –salah satunya dengan mengaktifkan komunikasi, seseorang yang sedang mencari jati diri merasa tidak sendiri, tidak kesepian dan selalu merasa banyak orang yang perhatian dengan mereka. Dengan begitu, dalam benaknya tidak terpikir untuk mencari pasangan sekedar untuk mencurahkan isi hati.

Satu lagi, yakinlah wahai remaja khusus, bahwa wanita-wanita yang keji diperuntukkan bagi laki-laki keji. Dan sebaliknya, wanita-wanita baik untuk laki-laki yang baik pula (lihat QS. An-Nuur: 26). So, jika masih menghendaki nanti mendapat pasangan baik, mari mulai memperbaiki diri dari sekarang. 

Wallahu ‘Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah yang Bijak & Sopan Santun !