Minggu, 04 Oktober 2020

Ikhlas Dalam Beramal

     Menurut bahasa, dalam kata ikhlas terkandung beberapa makna bersih, jernih, suci, dari campuran dan pencemaran, baik berupa materi maupun non materi. Lawan dari kata ikhlas adalah Nifaq dan Riya'. Rasulullah SAW. bersabda tentang sifat yang mulia ini dalam sabdanya, "Barangsiapa yang tujuan utamanya meraih pahala akhirat, niscaya Allah akan menjadikan kekayaannya dalam qolbu nya (Hatinya), menghimpunkan baginya semua potensi yang dimilikinya, dan dunia akan datang sendiri kepadanya seraya mengejarnya.

 Sebaliknya, Barangsiapa yang tujuan utamanya meraih dunia, niscaya Allah akan menjadikan kemiskinannya berada didepan matanya, membuyarkan semua potensi yang dimilikinya, dan dunia tidak akan datang sendiri kepadanya kecuali menurut apa yang telah ditakdirkan untuknya". (HR. Tirmidzi).

       Agar ikhlas dapat terpelihara, tentu ada variabel yang melekat pada setiap amal yang Kita lakukan. Diantaranya yaitu variabel profesionalisme, kompetensi, itqan, dan kesungguhan. Maka amal yang cenderung apa adanya, serampangan, asal jadi, "pokoknya" dan amal yang tidak konsisten bisa jadi karena ketidak ikhlasan Kita dalam menjalankan tugas tersebut. Ini tantangan terberat bagi Kita sesungguhnya. Ikhlas inilah yang akan memperkuat potensi spiritualitas Kita. Lantas pertanyaan besar Kita muncul; "Apakah ruh dan motivasi yang menggerakkan roda amal Kita selama ini ?

       Sesungguhnya kehidupan ini memang Allah ciptakan untuk menguji siapa diantara hamba-Nya yang paling banyak dan paling baik beramal. Beramal merupakan inti dari keberadaan manusia di dunia ini. Tanpa amal, maka manusia akan kehilangan fungsi dan peran utamanya dalam menegakkan khilafah dan imarah. Allah SWT. Berfirman menegaskan tujuan keberadaan manusia, "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa Lagi Maha Pengampun". (Al-Mulk: 2)

        Namun pada tahap implementasinya, ternyata tidak cukup hanya beramal saja, karena memang Allah akan menseleksi setiap amal itu dari niat dan keikhlasannya. Tanpa keikhlasan, amal Seseorang akan sia-sia tidak berguna dan tidak dipandang sedikitpun oleh Allah. Imam Al-Ghazali menuturkan; "Setiap manusia binasa kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu akan binasa kecuali orang yang beramal (Dengan ilmunya). Orang yang beramal juga binasa kecuali orang yang ikhlas (Dalam amalnya). Namun orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan berhati-hati dalam beramal." Dalam hal ini, hanya orang-orang yang ikhlas beramal yang akan mendapat keutamaan dan keberkahan yang sangat besar, seperti yang dijamin Allah dalam firman-Nya; "Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (Bekerja dengan ikhlas). Mereka itu memperoleh rezeki yang tertentu, yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, di dalam surga-surga yang penuh kenikmatan". (Ash-Shaffaat: 40)

      Ayat tentang keutamaan dan jaminan bagi Orang yang bekerja dengan ikhlas seharusnya menjadi motivasi utama Kita dalam menjalankan tugas dan pekerjaan kita sehari-hari dalam bentuk dimensi apapun, baik dalam konteks "Hablum minallah atau Hablum minannas". Karena hanya Orang yang mukhlis nantinya yang akan meraih keberuntungan yang besar di hari kiamat, yaitu surga Allah yang penuh dengan kenikmatan, meskipun dia harus banyak bersabar terlebih dahulu ketika di dunia. Ayat ini juga merupakan salah satu diantara jaminan yang disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang mukhlis. 

      Jaminan lain yang Allah sediakan bagi mereka yang ikhlas dalam beramal bisa ditemukan dalam kisah perjalanan Yusuf as. ketika Beliau berhadapan dengan seorang wanita yang mengajaknya melakukan kemaksiatan. Bahwa Allah akan senantiasa memelihara Hamba-Nya yang mukhlis dari perbuatan keji dan maksiat; "Sesungguhnya  wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang mukhlis".  (Yusuf: 24). Dalam ayat lain, orang yang mukhlis juga mendapat jaminan akan terhindar dari godaan dan bujuk rayu setan. Setan sendiri mengakui ketidakberdayaan dan kelemahan mereka. Dihadapan orang-orang yang beramal dengan ikhlas, Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (Perbuatan maksiat) di muka bumi dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka. " (Al-Hajr: 39-40). Dengan redaksi yang sama, ayat ini berulang dalam surat Shaad, iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka". (Shaad: 82-83). Sungguh benteng keikhlasan merupakan benteng yang paling kokoh yang 'tak tergoyahkan oleh apapun bentuk rayuan dan fitnah iblis dan sekutunya.

       Secara prinsip, Islam memandang keikhlasan sebagai fondasi dari ruh sebuah amal, apapun bentuknya amal tersebut selama termasuk kategori amal sholeh. Baik amar tersebut dilakukan dalam skala pribadi maupun kolektif (Bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara). Bahkan keikhlasan dalam ruang lingkup kolektif sosial ternyata sesuatu yang lebih berat dan memerlukan kesabaran yang lebih. Dalam konteks, keikhlasan harus dibangun secara timbal balik antara seluruh Individu dalam masyarakat dan menghindari kecemburuan serta persepsi negatif terhadap masing-masing anggota. Demikian, semakin luas wilayah kerja seseorang, maka semakin dibutuhkan keikhlasan. Apalagi di tengah semakin beragam hambatan atau ujian keikhlasan yang menghadangnya, yang pada umumnya adalah seperti yang dinyatakan oleh Syeikh Hasan Al-Banna' dalam risalahnya, yaitu: harta, kedudukan, popularitas, gelar, ingin selalu tampil di depan dan diberi penghargaan dan pujian dan lain sebagainya.

         Jika keikhlasan dituntut dan setiap Orang yang beramal, maka menurut Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, keikhlasan bagi seorang da'i merupakan keniscayaan yang harus senantiasa menyertainya karena ia akan berhadapan dengan berbagai keadaan dan beragam manusia dalam perjalanan dakwahnya. Jika tidak, maka binasa dan sia-sia lah amalnya. Bahkan sifat yang mendasar bagi seorang da'i yang harus senantiasa melazimnya adalah ikhlas. Oleh karena itu, para Ulama' hadits menjadikan bab Niat berada di awal kitab hadits susunan Mereka, agar karya tulis Mereka selalu diawali dengan keikhlasan dan tidak luput dari sifat ini. Bisa dibayangkan para Ulama' yang merupakan teladan dalam beramal mencontohkan Kita agar senantiasa mengukur setiap amal yang Kita lakukan dengan ukuran ikhlas.

         Para Nabi Allah dalam kapasitas Mereka sebagai da'i senantiasa menjadikan keikhlasan sebagai jargon dan prinsip dakwah mereka. Sebagai contoh Nabi Muhammad Saw. yang menjadi teladan utama dalam hal ini mengemukakan tentang motivasinya dalam berdakwah, Katakanlah:

"Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya". (Al-Furqon: 57)

        Dengan redaksi yang sama dan dalam surah yang sama secara berdampingan, seluruh Nabi Allah menekankan prinsip keikhlasan dalam dakwah mereka yang ideal, mulai dari Nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth, dan Syu'aib as. "Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanya dari Tuhan semesta alam". (Asy-Syu'ara'; 109,127,145,164,180). Inilah bangunan keikhlasan yang pernah ditunjukkan dan dicontohkan dalam dakwah para Nabi Allah, sehingga Mereka meraih kesuksesan dan diabadikan namanya oleh Allah Swt. sebagai cerminan bagi para da'i setelah mereka.

~

1 komentar:

Komentarlah yang Bijak & Sopan Santun !